Rabu, 05 Mei 2010

PENALARAN INDUKTIF BAHASA INDONESIA 2

PENALARAN INDUKTIF
BAHASA INDONESIA 2

DISUSUN OLEH
AGUS SURONO (10207062)
DEBY TRIANA ARDI (10207262)
DWIGUNO AJI PAMUNGKAS (10207370)
EKO SETYAWAN (10207391)
JONI SAPUTRA (11207452)
TOMMY WAHYU P.U (11207105)


3EA03







UINIVERSITAS GUNADARMA
2010
Definisi penalaran induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif.
Pengertian Penalaran
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.
PENGERTIAN ANALOGI
Analogi adalah suatu bentuk penalaran dengan jalan mempersamakan dua hal yang berlainan. Kedua hal itu diperbandingkan untuk dicari persamaannya. Analogi dilakukan dengan mempersamakan kedua hal yang sebenarnya berlainan.
Analogi dan generalisasi dapat dikatakan mempunyai hubungan, dalam analogi kita membandingkan dua hal atau lebih yang memiliki kesamaan tertentu pada beberapa segi dan menyimpulkan keduanya memiliki kesamaan dalam segi yang lain. Sedangkan generalisasi memperhatikan hal yang sama dari hal-hal yang berbeda dan kesimpulannya bersifat universal, sedangkan pada analogi kesimpulannya berlaku partikular.

MACAM – MACAM ANALOGI
Dalam setiap tindakan penyimpulan analogik terdapat tiga unsur, yaitu:
1.Peristiwa pokok yang menjadi dasar analogi
2.Persamaan prinsipal yang menjadi pengikat
3.Fenomena yang hendak kita analogikan
Dari unsur-unsur tersebut akan muncul berbagai macam analogi, seperti:
1.Analogi Induktif
Analogi yang disusun berdasarkan persamaan prinsipal yang ada pada dua fenomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa yang ada pada peristiwa pertama juga ada pada peristiwa kedua.
Contoh:
a.Sarno anak Pak Sastro adalah anak yang rajin dan jujur
b.Sarni anak Pak Sastro adalah anak yang rajin dan jujur
c.Sardi anak Pak Sastro adalah anak yang rajin dan jujur
d.Sarto adalah anak pak Sastro
Sartoanak Pak Sastro adalah anak yang rajin dan jujur
Berbeda dengan generalisasi induktif yang kesimpulannya berupa proposisi universal, konklusi analogi tidak selalu berupa proposisi universal, namun tergantung dari subyek yang diperbandingkan. Subyek analogi dapat individual, partikular maupun universal. Tetapi sebagai penalaran induksi, konklusi yang ada lebih luas daripada premis-premisnya. Tiga anak Pak Sastro yang rajin dan jujur tidak dapat menjamin bahwa anaknya yang keempat juga rajin dan jujur.
Analogi Deklaratif
Analogi yang menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang di kenal.
Ilmu pengetahuan dibangun oleh fakta-fakta sebagaimana sebuah rumah dibangun oleh batu-batu. Tapi tidak semua kumpulan fakta adalah ilmu, sebagaimana tidak semua kumpulan batu adalah rumah.
Analogi Noninduktif (analogilogis)
a.“Hanya orang bijaksana yang menyukai puisi”. Kalimat tersebut sama maknanya dengan “Semua orang bijaksana menyukai puisi”.
b.“Hanya perempuanlah yang mengandung dan melahirkan anak”, kalimat tersebut tidak sama dengan “Semua perempuan mengandung dan melahirkan anak”.
Kedua kalimat diatas mempunyai pola yang sama yaitu “Hanya….yang…”, namun analogi diatas bukan merupakan analogi induktif, karena kesimpulannya tidak bersifa tempiris.
Artinya kesimpulan dari analogi noninduktif tidak dapat di diskonfirmasi atau disangkal oleh bukti-bukti empiris. Namun analogi tersebut juga bukan analogi deduktif, karena argumen deduktif dapat di nilai benar salahnya dengan mengacu pada bentuk logis tertentu atau definisi istilah yang di gunakan. Oleh karena itu, analogi ini dapat disebut
CARA MENILAI ANALOGI
Untuk mengukur sejauh mana sebuah analogi dapat di percaya, diketahui dengan alat sebagai berikut:
1.Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang di analogikan.
Semakin besar atau semakin banyak peristiwa sejenis yang di analogikan, semakin besar pula tarap ketrpercayaannya.
2.Sedikit banyaknya aspek yang menjadi dasar analogi.
3.Sifat dari analogi yang kita buat. Semakin rendah taksiran yang kita analogikan semakin kuat analogi itu.

4.Mempertimbangkan unsur yang berbeda pada peristiwa yang di analogikan. Semakin banyak pertimbangan atas unsur2 yang berbeda semakin kuat keterpercayaan analoginya.
5.Relevan atau tidaknya masalah yang di analogi. Bila tidak relevan analogi tidak akan kuat dan bisa gagal.
KESESATAN ANALOGI
Kesesatan dalam analogi bisa terjadi karena kita terlalu cepat menarik konklusi, sedangkan fakta yang di jadikan dasar tidak cukup mendukung konklusi tersebut atau terlalu sedikit. Kemudian terjadi karena Kecerobohan dan Prasangka.
Contoh:
1.Seorang pria bertemu seorang gadis Solo di pesta, kemudian di sebuah toko dia bertemu seorang gadis solo yang lain, sewaktu melihat pentas dia melihat seorang gadis solo menari. Ketiga gadis itu sama-sama luwes. Lalu dia beranggapan “Semua gadis Solo luwes”.
2.“Saya pernah di keraton Surakarta , saat Sri Susuhunan berulang tahun. Saya melihat lima belas gadis, semua berkebaya dan cantik. Memang semua gadis Surakarta itu berkebaya dan cantik ”.
3.Seorang pemuda luar pulau menikahi gadis Solo dan membawanya pulang kampung. Ibunya berkata, “Istrimu kalau bicara seperti penjual ayam di pasar?”, jawab pemuda tersebut “Ah, itu karena ibu kalau bicara keras-keras sehingga ia kira ibu kurang pendengaran”. Suatu saat ibunya berkata, “Istrimu jalannya kok seperti di kejar maling?”, “Ah, itu karena ibu selalu membuat dia terkejut dan ketakutan”.
Selain ketiga hal tersebut diatas, analogi juga bisa keliru karena membuat persamaan yang tidak tepat.
Contoh:
“Antara kita dan binatang mempunyai persamaan yang sangat dekat. Binatang bernafas, kita juga bernafas. Binatang makan, kita juga makan. Binatang tidur dan istirahat, kita juga tidur dan istirahat. Binatang kawin, kita juga kawin. Jadi dalam keseluruhan binatang sama dengan kita.”
Pernyataan di atas hendak menyimpulkan bahwa manusia sama dengan binatang dengan mempertimbangkan persamaan-persamaan yang ada pada keduanya, padahal yang di samakan itu bukan masalah yang pokok.
HIPOTESIS DAN TEORI
Hipotesis.
Hipotesa sering dianggap sebagai proposisi untuk menerangkan suatu gejala alam yang belum cukup bukti. Maka istilah hipotesa sering diidentikkan dengan penjelasan prematur atau teori tentative.

Teori.
Teori dapat mempunyai berbagai pengertian, namun pada umumnya merupakan suatu konsepsi atau cara melihatnya secara mental atau idea mental berupa pernyataan secara sistematik dari prinsip-prinsip yang memformulasi hubungan yang nampak antar beberapa gejala alam yang telah diamati, atau prinsip-prinsip yang mendasari (membawahinya), yang telah diverifikasi dalam batas tertentu teori juga berimplikasi adanya cukup banyak bukti yang mendukung prinsip-prinsip umum yang telah diformulasikan yang menjelaskan bekerjanya (operation) dari suatu phenomena tertentu.
Hipotesa-Teori.
Secara simplisitik suatu teori berkembang dari suatu hipotesa yang merupakan gagasan yang sebagai akibatnya akan memprediksi suatu gejala untuk dibuktikan dengan pengamatan-pengamatan. Jika pengamatan-pengamatan itu terus menerus dapat menginyakan prediksi
tersebut maka hipotesa itu berkembang menjadi suatu teori.
Dalam kenyataannya hal ini tidak sesederhana itu, karena istilah hipotesa dan teori sering menjadi kabur.
Selanjutnya Chamberlin (1904) melihat perkembangan teori sebagai berikut:
a. Penjelasan Prematur (Premature Explanation)
b. Teori Tentative (Tentative Theory)
c. Teori yang telah diterima (Adopted Theory)
d. Teori yang Berlaku (Ruling Theory).
Kegunaan hipotesis
Kegunaan hipotesis antara lain:
1. Hipotesis memberikan penjelasan sementara tentang gejala-gejala serta memudahkan perluasan pengetahuan dalam suatu bidang.
2. Hipotesis memberikan suatu pernyataan hubungan yang langsung dapat diuji dalam penelitian.
3. Hipotesis memberikan arah kepada penelitian.
4. Hipotesis memberikan kerangka untuk melaporkan kesimpulan penyelidikan
Ciri-ciri hipotesis
Ciri-ciri hipotesis yang baik:
1) Hipotesis harus mempunyai daya penjelas
2) Hipotesis harus menyatakan hubungan yang diharapkan ada di antara variabel-variabel-variabel.
3) Hipotesis harus dapat diuji
4) Hipotesis hendaknya konsistesis dengan pengetahuan yang sudah ada.
5) Hipotesis hendaknya dinyatakan sesederhana dan seringkas mungkin.
GENERALISASI
Generalisasi secara sederhana adalah menempatkan semua masalah setipe pada opini yang sama. Generalisasi merupakan pengungkapan opini terhadap masalah secara pragmatis, tidak mau menelaah bahwa setiap masalah belum tentu mempunyai kondisi sama alias mungkin berbeda.

Untuk sebuah opini pribadi, generalisasi sah-sah saja dan menjadi pandangan orang tersebut terhadap masalah. Namun untuk opini publik, atau opini pribadi yang dipaksakan ke publik, generalisasi menurut saya sangatlah tidak tepat.
Contoh yang simpel dan sedang marak-maraknya terjadi, meng-generalisasi bahwa selama pemerintahan Soeharto buruk. Atau malah sebaliknya semuanya baik sehingga tidak ada yang perlu diungkit-ungkit sisi buruknya lagi, apalagi Bapak tersebut sudah seda. Opini yang semacam ini adalah generalisasi, dan ini menurut saya bahaya. Opini tersebut tidak fair, dan justru menunjukan betapa tidak dewasanya penyuara opini tersebut.
Opini yang lebih fair dan mendewasakan bila melihat segalanya dari dua sisi, antara kebaikan dan keburukannya. Kita akui semua jasa-jasanya selama membangun indonesia (dan mungkin bisa dianugerahkan pahlawan?), dan di sisi yang lain memproses kasus-kasus yang melibatkannya dilanjutkan penyelidikan kepada pihak-pihak yang hidup ada saat ini.
Tampaknya bangsa ini sudah terlalu ingin menyederhanakan segalanya menjadi mudah, berpikir biner alias 1-0. Artinya kalau tidak 1, ya 0. Kalau tidak baik, ya buruk. Kalau tidak pahlawan, ya penjahat. Bukankah semua persoalan hidup ini tak bisa semata dilihat dari sudut 1-0?

Begitu pula dengan Soekarno, yang banyak dirindukan semangatnya untuk memajukan bangsa. Soekarno memang pemimpin luar biasa, sederhana dan visioner. Tapi jangan lupa, Soekarno pula yang mendefinisikan dirinya sebagai ‘aktor demokrasi terpimpin’.
Bagaimana itu bila itu berupa opini pribadi? Satu hal, itu sekali lagi sah-sah saja. Dan hanya akan menjadi penilaian lingkungan terhadap orang tersebut. Kembali masalah kedewasaan. Namun saat itu dipaksakan kepada orang lain, itulah yang menjadi kurang bijak.

Misalnya seperti ini, seorang teman sangat keukeuh untuk tidak menikah (atau ‘berhubungan’) dengan perempuan berjilbab. Alasanya, karena perempuan yang memakai jilbab belum tentu baik hatinya. Saya pun balik bertanya, apa semua orang yang tidak memaikai jilbab baik hatinya? Baik-tidak baik memang tidak ditentukan oleh jilbab semata, namun jilbab bagi seorang muslimah (yang menyakininya dengan benar) merupakan bentuk pelaksanaan syariat agama.

Generalisasi yang tidak boleh dilakukan adalah yang menyangkut dengan kepercayaan (faith) dan hukum alam (law of nature). Bahwa Risalah Tuhan itu benar, tidak perlu dibantah. Bahwa air akan mendidih di suhu 100 derajat celcius, tidak perlu dicoba untuk disentuh.
HUBUNGAN KAUSAL
Adalah suatu bentuk dan peranan baru di dalam konsepsi- konsepsi ontologikal dan logikal yang berkaitan pada perkembangan-sendiri objek.
Metode menggunakan hubungan kausal yang dikarakterisasi dalam karya Cibulka bukanlah satu-satunya yang dipakai oleh Marx.
1. Dalam penjelasan Marxian menenai kapitalismne kita dapatkan hubungan kausal digunakan dengan suatu cara yang dapat kita namakan Galilean atau Galilean-Newtonian. Ini pada hakekatnya pemahaman yang sama mengenai kausalitas yang memainkan suatu peranan khusus dan dominan dalam penjelasan Ricardo mengenai kapitalisme. Penggunaan bentuk-bentuk kausal dari jenis itu oleh Marx adalah sama dengan transendensi Marx atas pendirian kuantitatif Ricardo yang berat-sebelah.
Ricardo, misalnya, memeriksa sebab-sebab variasi-variasi nilai relatif barang-dagangan barang-dagangan; Marx mengajukan pertanyaan serupa, tetapi ia tidak berhenti hingga di situ; ia tidak terbatas di situ seperti halnya dengan Ricardo. Dalam analisis Marxian maka penjelasan Galilean mengenai kausalitas, sejauh itu ikut berperan, telah digabungkan sebagai suatu aspek subordinate (rendahan) ke dalam suatu hubungan pengertian (konteks) baru, yang sama sekali tidak dikenal ilmu pengetahuan Galilean--yaitu konsepsi monistik tentang realitas.
Secara sama Marx menyelidiki hubungan sebab-akibat dengan merujuk dari persediaan dan permintaan tidak menjelaskan apa-apa, sampai kita memastikan dasar yang menopang hubungan itu.
Tetapi, sebelum kita menyelidiki dasar dalam analisis Marxian yang menopang berlangsungnya hubungan-hubungan kausal persediaan dan permintaan itu, marilah kita menggambarkan beberapa hal lagi di mana analisis Marx beroperasi dengan hubungan sebab-akibat dalam pengertian yang senmpit dan hakekatnya adalah Galilean.
Ketergantungan kausal dari variasi-variasi kuantitatif dari satu jenis pada variasi-variasi kuantitatif satu jenis lainnya dibuktikan oleh Marx, misalnya, ketika ia berbicara tentang hubungan kuantitas uang sebagai satu alat peredaran (sirkulasi) dengan harga-harga barang-dagangan:...yang naik atau turun dalam jumlah mata-uang manakala nilai logam-logam mulia tetap konstan selalu merupakan konsekuensi (akibat), tidak pernah menjadi sebab, dari variasi-variasi harga.
Dalam hal-hal serupa Marx menganggap bahwa secarea ilmiah layaklah membuktikan ketiadaan suatu hubungan kausal. Demikianlah di dalam polemiknya terhadap Darimon Proudhonis, Marx menyinggung persoalan apakah ada sesuatu jenis hubungan kausal di antara kuantitas uang kertas dan uang logam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Proudhon.
Istilah-istilah sebab-akibat dipakai secara sangat bebas oleh Marx bagi berbagai bentuk akibat ekstra-mekanikal, bagi penamaan berbagai jenis momen-momen efektual, jenis-jenis mediasi yang sangat berbeda-beda.
Orang tidak dapat mengatakan bahwa Marx telah menggunakan hubungan sebab-akibat semata-mata untuk mengkarakterisasi permukaan fenomenal, karena ini, misalnya, dapat kita baca dalam analisisnya tentang kapitalisme:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar